Kondisi bisnis broiler (ayam pedaging) saat ini diibaratkan
oleh Syaiful Bur sedang berperang melawan musuh yang bersenjata lengkap.
Dan siasat bertempur yang dia tempuh agar tetap selamat adalah dengan
sembunyi, alih-alih lari meninggalkan medan pertempuran. “Tidak perlu
lari meninggalkan musuh, cukup bersembunyi asal tidak kena tembak. Masih
dapat melihat musuh dan siap jika ada kesempatan datang,” ujar peternak
senior yang kandangnya banyak di daerah Bekasi, Jawa Barat ini
menjelaskan strateginya kepada TROBOS Livestock.
Harga livebird (ayam hidup) cenderung tertekan sejak 2012.
Harga ayam di bawah harga pokok produksi (HPP) yang berkepanjangan
dialami seluruh peternak di Indonesia. Dan sebagian peternak mulai
berpikir ulang meneruskan usahanya.
Tetapi Syaiful Bur, adalah salah satu yang yakin mempertahankan
usahanya, meski harus melakukan berbagai manuver untuk penyelamatan.
Saat ditemui di kediamannya di Jakarta Pusat, pria yang beternak mulai
1982 ini mengatakan, sejak awal ia beternak suplai DOC (ayam umur
sehari) adalah faktor utama yang berperan dalam fluktuasi harga ayam.
Dan saat ini, menurut dia, dampak nyata dari over supply DOC
adalah harga jual ayam saat panen yang senantiasa jeblok.Disinyalir,
DOCberlebih 1,5 juta ekor tiap minggunya dari kebutuhan nasional.Kondisi
ini akan berbeda apabila perusahaan besar yang memiliki budidaya
mengekspor broiler hasil budidayanya.
Kondisi buruk selama 2 tahun harga jual ayam hidup di bawah HPP
mengakibatkan peternak harus menyubsidi usahanya. Dengan asumsi harga
DOC Rp 4.000 Syaiful mematok kisaran HPP usahanya saat ini Rp 14.500 –
15.000 per kg. Dan agar untung, harga jual semestinya di level Rp
16.000. Apa lacur, harga terkini berkisar Rp 14.500 – 15.500 per kg
(4/15). “Sepanjang 2013, bisa dibilang tidak ada keuntungan. Cukup untuk
membayar anak kandang dan sapronak yang diperlukan,” tutur Syaiful.
Zulham Ariansyah, salah satu peternak Bogor juga menyatakan, usaha broiler
kini makin buruk dan tidak menunjukkan perbaikan. “Katanya ada
pengurangan jumlah DOC, seharusnya harga membaik. Tapi kenyataannya
harga semakin turun,” tuturnya saat ditemui TROBOS Livestock disela-sela
kesibukan melayani pengunjung di taman edufarm miliknya.
Zulham mengaku berat jika menggantungkan hidup sepenuhnya dari usaha budidaya broiler.
Populasinya yang semula 20.000 dan sempat berkembang jadi 50.000 ekor,
kini susut hanya 15.000 ekor. “Sejak 5 tahun lalu, beberapa kandang saya
alih fungsikan menjadi kandang sapi perah. Diversifikasi saya lakukan
disamping tetap mempertahankan usaha broiler,” tuturnya.
Zulham berpendapat dalam kondisi saat ini jika peternak ingin survive tidak bisa hanya mengandalkan budidaya saja melainkan harus dibarengi dengan trading (jual beli). “Trading yang dilakukan bisa saja broiler itu sendiri atau trading lainnya
seperti DOC,” terangnya. Menurut dia daya tawar peternak mandiri saat
ini rendah, sehingga seringkali terabaikan oleh pemerintah.
Sumber : Majalah Trobos
0 komentar:
Posting Komentar