Tren harga paka unggas terus meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini
tentu menambah biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh peternak.
Sementara itu, harga live bird (unggas hidup) kian tak menentu.
Kondisi tersebut dipaparkan Eko Prasetio – Broiler Commercial Farm Consultant dari peternakan Tri Group kepada TROBOS Livestock. “Kenaikan harga pakan yang tidak dibarengi oleh kenaikan harga karkas, mendorong kami peternak mandiri untuk lebih efisien dalam beternak,” ujarnya.
Meski saat ini, Eko mengaku telah lama berkolaborasi dengan beberapa perusahaan besar penyedia pakan (pakan pabrikan) unggas yang ada di Indonesia untuk memformulasikan pakan mandiri. “Jadi kami sodorkan formulasi pakan sendiri, tapi yang memproduksi mereka,” terang Eko. Bentuk kerjasama yang ia bina menerapkan azas saling menguntungkan antara kedua belah pihak.
Hal serupa dipaparkan Istanto, salah satu peternak broiler (ayam pedaging) asal Solo. Sejak 2003, ketika memulai beternak, ia telah memakai pakan buatan sendiri. “Menurut saya pakan buatan sendiri lebih bagus dan efisien, saya bisa menentukan sendiri kualitas seperti apa yang dibutuhkan oleh farm,” ucapnya.
Saat ini, ia telah memiliki feedmill (pabrik pakan) sendiri dengan kapasitas 4.000 – 5.000 ton per bulan. “Kebanyakan dipakai sendiri, tapi ada pula yang sedikit dijual ke teman-teman saja,” kata Istanto. Selisih harga antara pakan buatannya dengan pakan pabrikan sekitar 10 – 15%.
Diakui Istanto, meski membuat pakan mandiri, ia tak pernah mengalami kesulitan bahan baku. Dengan standar protein kasar 22% untuk broiler dan 18% untuk layer (ayam petelur), berapa pun jumlah bahan baku yang ia butuhkan selalu tersedia.
Lebih Efisien
Dengan kian ketatnya persaingan di bisnis perunggasan, menurut Eko, kedepan para peternak harus mulai berpikir untuk membuat pakan sendiri. Hal ini menjadi suatu yang sifatnya mendesakjika ingin usahanya langgeng. “Meskipun aspek manajemenseperti tata laksana pemeliharaan, sumber air dan konsep serta struktur kandang juga ikut berkontribusi signifikan terhadap pencapaian performa akhir dalam 1 siklus putaran pemeliharaan ayam,” jelasnya.
Menurut Eko, dengan menggunakan pakan mandiri, peternak bisa leluasa mengatur formulasi pakannya. Demikian pula dengan harga pakan per kg, dari segi performa pun tentunya bisa lebih baik. Hal ini disebabkan karena kondisi kualitas pakannya bisa lebih stabil dengan memperketat kontrol kualitasnya.
“Selain harga dengan relatif lebih murah, kualitas bisa lebih kami kendalikan dari pada harus beli completed feed dari perusahaan besar yang tidak bisa kita kontrol detail bahan bakunya,” ucap Eko. Cost efisien yang bisa dihemat mencapai Rp 700 – 900 per kg pakan, artinya Harga Pokok Produksi (HPP) bisa ditekan pula.
Namun keuntungan terbesarnya yaitu fleksibilitas dari perubahan formulasi pakan, jika ada masalah di farm, disesuaikan dengan strategi panen dan rupiah per kg pakan, lanjut Eko. ”Dari beberapa data research farm yang kami himpun dengan completed feed berkategori grade A dibandingkan dengan pakan self mixing, kami bisa memberikan performa yang sama, namun dengan harga yang jauh lebih murah per kg pakannya,” ungkap dia. Sehingga goncangan/fluktuasi harga ayam hidup masih relatif bisa diantisipasi dengan strategi pakan.
Lanjut Eko, Bahkan ketika terjadi pergantian musim, dengan membuat pakan sendiri lebih leluasa dalam mengatur formulasi dihubungkan dengan kondisi perubahan cuaca dengan imbuhan pakan (feed additive) tertentu. “Misalnya pada saat musim penghujan, biasa kami tambahkan antijamur (Mycotoxin binder), penghambat pertumbuhan jamur (Mold inhibitor),” jelasnya.
Berbeda ketika musim kemarau, lanjutnya, imbuhan pakan yang biasa ditambahkan diantaranya vitamin C, beberapa mineral (Na, Cl, Ca, fosfor, Mg, Zink, dan lainnya ). Untuk masa masa peralihan baik dari musim kemarau ke musim penghujan atau sebaliknya, peternak lebih bebas mengganti (rooling), antikoksi (coccidiostat) dan antibiotik (anti biotic growth promotor) menyesuaikan dengan monitoring penyakit-penyakit (surveilance) yang terjadi di farm baik internal ataupun unit kemitraan yang ia bina.
Pada beberapa kasus yang berhubungan dengan kualitas anak ayam (DOC/Day Old Chick), dapat memberikan imbuhan pakan tertentu pada pakan prestarter. “Hal ini ditujukan untuk meminimalisir dampak negatif dari kualitas DOC yang kurang baik, mengingat kami belum punya bibit induk ayam (breeding farm) sendiri,” ucapnya.
Sumber : Majalah Trobos
Kondisi tersebut dipaparkan Eko Prasetio – Broiler Commercial Farm Consultant dari peternakan Tri Group kepada TROBOS Livestock. “Kenaikan harga pakan yang tidak dibarengi oleh kenaikan harga karkas, mendorong kami peternak mandiri untuk lebih efisien dalam beternak,” ujarnya.
Meski saat ini, Eko mengaku telah lama berkolaborasi dengan beberapa perusahaan besar penyedia pakan (pakan pabrikan) unggas yang ada di Indonesia untuk memformulasikan pakan mandiri. “Jadi kami sodorkan formulasi pakan sendiri, tapi yang memproduksi mereka,” terang Eko. Bentuk kerjasama yang ia bina menerapkan azas saling menguntungkan antara kedua belah pihak.
Hal serupa dipaparkan Istanto, salah satu peternak broiler (ayam pedaging) asal Solo. Sejak 2003, ketika memulai beternak, ia telah memakai pakan buatan sendiri. “Menurut saya pakan buatan sendiri lebih bagus dan efisien, saya bisa menentukan sendiri kualitas seperti apa yang dibutuhkan oleh farm,” ucapnya.
Saat ini, ia telah memiliki feedmill (pabrik pakan) sendiri dengan kapasitas 4.000 – 5.000 ton per bulan. “Kebanyakan dipakai sendiri, tapi ada pula yang sedikit dijual ke teman-teman saja,” kata Istanto. Selisih harga antara pakan buatannya dengan pakan pabrikan sekitar 10 – 15%.
Diakui Istanto, meski membuat pakan mandiri, ia tak pernah mengalami kesulitan bahan baku. Dengan standar protein kasar 22% untuk broiler dan 18% untuk layer (ayam petelur), berapa pun jumlah bahan baku yang ia butuhkan selalu tersedia.
Lebih Efisien
Dengan kian ketatnya persaingan di bisnis perunggasan, menurut Eko, kedepan para peternak harus mulai berpikir untuk membuat pakan sendiri. Hal ini menjadi suatu yang sifatnya mendesakjika ingin usahanya langgeng. “Meskipun aspek manajemenseperti tata laksana pemeliharaan, sumber air dan konsep serta struktur kandang juga ikut berkontribusi signifikan terhadap pencapaian performa akhir dalam 1 siklus putaran pemeliharaan ayam,” jelasnya.
Menurut Eko, dengan menggunakan pakan mandiri, peternak bisa leluasa mengatur formulasi pakannya. Demikian pula dengan harga pakan per kg, dari segi performa pun tentunya bisa lebih baik. Hal ini disebabkan karena kondisi kualitas pakannya bisa lebih stabil dengan memperketat kontrol kualitasnya.
“Selain harga dengan relatif lebih murah, kualitas bisa lebih kami kendalikan dari pada harus beli completed feed dari perusahaan besar yang tidak bisa kita kontrol detail bahan bakunya,” ucap Eko. Cost efisien yang bisa dihemat mencapai Rp 700 – 900 per kg pakan, artinya Harga Pokok Produksi (HPP) bisa ditekan pula.
Namun keuntungan terbesarnya yaitu fleksibilitas dari perubahan formulasi pakan, jika ada masalah di farm, disesuaikan dengan strategi panen dan rupiah per kg pakan, lanjut Eko. ”Dari beberapa data research farm yang kami himpun dengan completed feed berkategori grade A dibandingkan dengan pakan self mixing, kami bisa memberikan performa yang sama, namun dengan harga yang jauh lebih murah per kg pakannya,” ungkap dia. Sehingga goncangan/fluktuasi harga ayam hidup masih relatif bisa diantisipasi dengan strategi pakan.
Lanjut Eko, Bahkan ketika terjadi pergantian musim, dengan membuat pakan sendiri lebih leluasa dalam mengatur formulasi dihubungkan dengan kondisi perubahan cuaca dengan imbuhan pakan (feed additive) tertentu. “Misalnya pada saat musim penghujan, biasa kami tambahkan antijamur (Mycotoxin binder), penghambat pertumbuhan jamur (Mold inhibitor),” jelasnya.
Berbeda ketika musim kemarau, lanjutnya, imbuhan pakan yang biasa ditambahkan diantaranya vitamin C, beberapa mineral (Na, Cl, Ca, fosfor, Mg, Zink, dan lainnya ). Untuk masa masa peralihan baik dari musim kemarau ke musim penghujan atau sebaliknya, peternak lebih bebas mengganti (rooling), antikoksi (coccidiostat) dan antibiotik (anti biotic growth promotor) menyesuaikan dengan monitoring penyakit-penyakit (surveilance) yang terjadi di farm baik internal ataupun unit kemitraan yang ia bina.
Pada beberapa kasus yang berhubungan dengan kualitas anak ayam (DOC/Day Old Chick), dapat memberikan imbuhan pakan tertentu pada pakan prestarter. “Hal ini ditujukan untuk meminimalisir dampak negatif dari kualitas DOC yang kurang baik, mengingat kami belum punya bibit induk ayam (breeding farm) sendiri,” ucapnya.
Sumber : Majalah Trobos
0 komentar:
Posting Komentar