www.poultryindonesia.com. Hatchery
sebagai salah satu rangkaian usaha pembibitan merupakan pintu utama sebelum DOC
dipasarkan. Guna menghasilkan DOC yang berkualitas, perlu ada seleksi ketat
yang dilakukan bertahap agar diperoleh keseragaman produksi yang muaranya
adalah kualitas. Penentuan kualitas DOC dimulai dari grade, umur indukan, berat
telur, proses penetasan, packing dan terakhir suara pelanggan. Inti dari
seleksi tersebut adalah mencapai keseragaman, baik untuk mendapatkan telur
tetas maupun di level budidaya.
Keseragaman kualitas telur tetas
juga memengaruhi kinerja mesin. Telur dengan berat dan ukuran sama akan
memudahan setting dan kontrol yang berimbas pada produksi panas dari mesin
tetas akan lebih merata dan stabil.
Dalam hal grade, setiap
perusahaan memiliki kebijakan yang berbeda. Penentuan grade DOC biasanya
berdasarkan usia indukan yang bisa disimpulkan menjadi bibit muda, menjelang
puncak produksi, puncak produksi dan menjelang penurunan produksi atau disebut bibit
tua.
Disamping berdasarkan usia
indukan, grading juga bisa ditentukan dari perkembangan fisiologis ayam. Meski
umur indukan sudah masuk dalam grade usia tertentu, namun jika berat telur
tetasnya tidak sesuai standar maka pihak hatchery dapat memutuskan telur
tersebut tidak ikut ditetaskan. Namun jika merujuk pada Standar Nasional
Indonesia (SNI) maka berat DOC FS minimal 37 gram atau 65% dari berat telur
tetas. Berdasar SNI pula, setiap bibit yang dihasilkan harus bebas pullorum.
Dalam hal prosedur packing DOC
dan pendistribusian yang baik, harus dilengkapi data-data yang sesuai dengan
yang tertera di box DOC. Data tersebut meliputi strain, jumlah, tanggal
menetas, garansi bebas penyakit pulorum dan petugas penentuan grade DOC. Pada box
DOC sesuai standar kebutuhan seperti ventilasi, kepadatan dan keselamatannya.
Selain itu, alat transportasi pengiriman DOC dilengkapi dengan peralatan
ventilasi untuk menjaga kenyamanan anak ayam selama dalam pengiriman dan pengiriman
DOC segera setelah packing selesai.
Meski begitu, pencapaian kualitas yang baik tidak
dapat diraih jika tidak menerapkan biosekuriti terutama untuk hal sanitasi dan
fumigasi. Sebelum menjadi DOC, telur tetas sudah mengalami beberapa kali
sanitasi dan fumigasi mulai dari seleksi di kandang hingga selama proses
penetasan. Fungsinya adalah membunuh bibit penyakit dan mencegah tumbuhnya jamur
Aspergillus.
Telur tetas yang berasal dari
kandang indukan harus diseleksi dengan kualifikasi bukan telur inap dan tingkat
kekotoran. Bahkan telur yang meski tingkat kekotorannya masih ditoleransi tetap
dikelompokkan tersendiri agar tidak “mengganggu” kualitas telur yang lain.
Selama proses penetasan sistem
ventilasi juga harus diperhatikan. Kipas penarik udara dari luar harus
dipastikan bekerja normal. Jika tidak, udara yang diambil juga udara panas
Pemanasan yang tidak merata atau terlalu panas akan membuat DOC tetas prematur.
Imbasnya, jarak waktu pull chick juga lebih panjang. DOC yang terlalu lama di
penetasan akan mengalami dehidrasi, kaki kering dan selanjutnya memengaruhi keseragaman
dan pertumbuhan di level budidaya. Faktor yang lain adalah memperhatikan titik
krusial dalam penetasan, yakni tiga hari sebelum menetas di mana mulai
berfungsinya paru-paru sebagai organ pernafasan. Pada saat itu, sirkulasi udara
dan fluktuasi suhu di dalam hatchery harus benar-benar terkontrol dengan baik.
Dan terakhir adalah suara
konsumen, baik buruknya kualitas DOC yang dihasilkan suatu breeding farm adalah
mampu menujukkan performanya ketika dipelihara. Jika selama dipelihara memiliki
performa yang buruk, maka perlu ada intropeksi terhadap manajemen budidaya.
Oleh karenanya, perlu ada standarisasi selama budidaya terutama mulai DOC
datang hingga selama fase brooding. Namun jika semua hal yang dilakukan oleh
peternak sudah benar, maka perlu ada kontrol di level breeding. Hsn.
Sumber : http://poultryindonesia.com/modules.php?name=News&file=article&sid=1451
0 komentar:
Posting Komentar