Selasa, 17 Februari 2009

WASPADA TERHADAP ASAP HASIL PEMBAKARAN BATUBARA



PASCA kenaikan harga BBM membuat sebagian besar ibu-ibu rumah tangga rakyat kecil beralih menggunakan kompor briket batubara untuk memasak. Pilihan tersebut hanya didasari oleh keinginan menghemat pengeluaran. Karena harga 1 kg. briket batubara seharga Rp.1.000,- dapat menggantikan 1 liter minyak tanah yang harganya sekitar Rp.2.500,-.
Beberapa produsen kompor briket batubara mengaku bisa menjual 20 hingga 30 kompor per hari seharga Rp.60.000,- hingga Rp.65.000,- selang 3 minggu pasca kenaikan BBM. Pemerintah juga telah memutuskan untuk membantu rakyat miskin dengan membagikan 10 juta tungku briket batubara yang dibagikan secara gratis bagi penduduk miskin. Sepintas keputusan itu memang cukup baik, ditengah-tengah himpitan hidup, rakyat kecil mendapatkan angin segar.
Namun perlu diwaspadai bahwa penggunaan briket batubara untuk memasak tersebut me-nimbulkan masalah baru yang lebih serius.
Pada pertemuan dunia Sustainable Development (pembangunan berkelanjutan) di Bali tahun 2002, dikemukakan oleh Partnership for Clean Indoor Air (Kemitraan untuk udara bersih di dalam ruangan), bahwa penggunaan bahan bakar padat di dalam ruangan sangat bertentangan dengan inisiatif untuk kesehatan masyarakat. Salah satunya yang dibahas adalah risiko kesehatan yang bakal diterima jutaan penduduk negara berkembang jika briket batubara digunakan untuk memasak.
Saat ini diperkirakan lebih dari 1,6 juta orang telah meninggal setiap tahunnya akibat terkena infeksi pernapasan dan dampak pembakaran bahan bakar padat (Sumber WHO). Di antaranya yang paling banyak meninggal adalah perempuan termasuk ibu-ibu dan anak-anak.
Hasil penelitian yang dimuat American Journal of Epidemiology menyatakan bahwa memasak di dalam ruangan dengan bahan bakar padat, termasuk batubara, tanpa cerobong asap, akan meningkatkan risiko kanker paru secara signifikan. Lain halnya memasak dengan cara modern “menggunakan bahan bakar cair” akan menurunkan risiko tersebut.
Batubara dan perangkatnya yang dibakar untuk memasak dapat menghasilkan zat-zat racun seperti sulfur, merkuri, arsenik, selenium dan fluorida. Selama pembakaran, batubara juga menghasilkan polyevclie aromatic hydrocarbons yang dapat menyebabkan kanker tenggorokan dan kanker paru. Di samping itu zat-zat tersebut dapat meningkatkan risiko infeksi pernapasan kronis seperti bronchitis dan emfisema.
Para peneliti dari US Geological Survey and the Institute of Geochemistry, Guizhou, juga memperkirakan paling sedikit 3.000 penduduk di Provinsi Guizhou di barat daya China telah keracunan arsen kronis yang disebabkan mengkonsumsi makanan yang dimasak di atas api batubara.
Disamping itu bahan perekat bubuk batubara dari tanah liat untuk membuat briket, dapat meningkatkan kandungan fluorida pada batubara tersebut. Hal ini telah menimbulkan 10 juta penduduk China menderita penumpukan fluoride pada gigi dan tulang yang menyebabkan perubahan bentuk tulang.
“Kekurangan” lain penggunaan briket batubara adalah ketidakpraktisan. Memasak dengan briket batubara masih juga menggunakan sedikit minyak tanah, karena briket yang berada dilapisan paling atas pada tungku batubara tersebut harus direndam dulu dengan minyak tanah selama 10 menit. Setelah briket terendam, baru kemudian dibakar. Proses pembakaran ini akan berlangsung sampai 20 menit, sampai briket batubara menjadi bara, baru kemudian setelah ini peralatan masak dapat dinaikkan ke atas tungku. Hal tersebut akan semakin merepotkan pengguna.
Meskipun harga briket batubara lebih murah daripada minyak tanah, tetapi 1 kg. briket batubara hanya mengandung 60% energi (5.500 kcal) daripada yang dikandung minyak tanah (8.900 kcal). Selain itu energi briket batubara hanya separoh dari 1 kg. gas elpiji (11.900 kcal).
Kebijaksanaan menggunakan bahan bakar pengganti minyak tanah tersebut seharusnya lebih dulu dilakukan kajian secara komprehensif dan melalui hasil penelitian (berbasis penelitian) yang melibatkan berbagai pihak terkait termasuk perguruan tinggi, tidak hanya sekadar keputusan ekonomi yang hanya disosialisasikan lewat siaran pers saja.
Bahan bakar biomassa merupakan energi yang terbarukan (kotoran hewan, sabut kelapa, dll.) justru lebih akrab dan merakyat di pedesaan ketimbang batubara, disamping lebih mudah bahan bakunya dan murah, bahan bakar ini juga tidak serumit batubara.
Berita terakhir, pemerintah menganjurkan agar ibu rumah tangga beralih dari minyak tanah ke gas karena persediaan gas nasional yang besar, sementara minyak bumi makin terbatas produksinya. Tujuan lain dari pemerintah agar industri beralih ke gas, juga mobil taksi secara bertahap memakai gas. Tujuan baru selalu menimbulkan pro dan kontra...Siap, maju?
Fr. Teddy Darmawan PT.Central Proteinaprima, Semarang.(Sumber : Suara Merdeka Mei 2006)

Buletin CP no 78/Tahun VII

1 komentar:

ronny mengatakan...

pak kalau bau asap dari hasil pembakaran briket yg paling menyengat dari bahan apa?. saya tinggal di perumahan dan warganya banyak mengeluh tentang bau asap dari pembakaran briket oleh kandang ayam yg tidak jauh dari tempat saya. apa bisa diganti alat penghangatnya biar tidak menimbulkan polusi udara?.