Close Housed

Kandang sistem closed house adalah kandang tertutup yang menjamin keamanan secara biologi (kontak dengan organisme lain) dengan pengaturan ventilasi yang baik sehingga lebih sedikit stress yang terjadi pada ternak, menyediakan udara yang sehat bagi ternak, menyediakan iklim yang nyaman bagi ternak, meminimumkan tingkat stress pada ternak.

Broiler Modern

Ayam pedaging hasil persilangan dari berbagai bangsa ayam pedaging, yang memiliki kemampuan untuk menghasilkan daging secara optimal dan edisien, memiliki keunggulan pertumbuhannya yang sangat cepat dengan bobot badan yang tinggi dalam waktu yang relatif pendek, konversi pakan kecil, siap dipotong pada usia muda serta menghasilkan kualitas daging berserat lunak, yang didukung dengan pakan yang berkualitas dan menajemen pemeliharaan yang maksmila

DOC ( Day Old Chick )

DOC(day old chick), anak yam umur 1 hari sangat menentukan keberhasilan usaha ternak ayam. Kondisi DOC yang baik merupakan modal awal yang sangat penting.

Broiler

Campuran dari beberapa bahan baku pakan, baik yang sudah lengkap maupun yang masih akan dilengkapi, yang disusun secara khusus dan mengandung zat gizi yang mencukupi kebutuhan ternak untuk dapat dipergunakan sesuai dengan jenis ternaknya.

Pakan Ayam Broiler

Campuran dari beberapa bahan baku pakan, baik yang sudah lengkap maupun yang masih akan dilengkapi, yang disusun secara khusus dan mengandung zat gizi yang mencukupi kebutuhan ternak untuk dapat dipergunakan sesuai dengan jenis ternaknya.

Kemitraan Ayam Broiler

Kerjasama pemeliharaan ayam broiler dengan pola kerjasama inti dan plasma. Kerjasama dilaksanakan atas dasar saling percaya dan saling menguntungkan antara inti dan plasma.

Kamis, 29 Januari 2009

TANAMAN OBAT MENINGKATKAN EFISIENSI PAKAN DAN KESEHATAN TERNAK UNGGAS

DESMAYATI ZAINUDDIN
Balai Penelitian Ternak
Jl. Veteran – III PO Box 221, Bogor 16002

ABSTRAK

Ramuan tanaman obat pada umumnya dikonsumsi oleh manusia untuk tujuan menjaga kesehatan atau
sebagai pengobatan beberapa penyakit tertentu. Sejak krisis moneter yang terjadi di Indonesia sampai saat ini
harga obat-obatan buatan pabrik (impor) sangat mahal, sehingga tidak terjangkau oleh para petani ternak,
khususnya peternak dalam skala menengah ke bawah. Oleh karena itu peternak berupaya mencari alternatif
lain dengan memanfaatkan beberapa tanaman obat sebagai obat tradisional yang disebut jamu hewan yang
dapat diberikan dalam bentuk larutan melalui air minum dan atau dalam bentuk simplisia (tepung) yang
dicampur kedalam ransum sebagai “feed additive” maupun “feed supplement”. Tujuan makalah ini untuk
mensosialisasikan dan menginformasikan manfaat dan khasiat dari tanaman obat sebagai jamu dan atau “feed
additive” untuk ternak. Jamu hewan atau ramuan beberapa tanaman obat tersebut dapat dibuat sendiri oleh
petani ternak dan harganya lebih murah dibandingkan obat pabrik, tetapi khasiatnya cukup baik untuk
pencegahan maupun pengobatan pada ternak unggas, antara lain penyakit gangguan pernafasan (Snot dan
CRD), koksidiosis, kurang nafsu makan, diare, feses hijau. Pemberian jamu hewan maupun tanaman obat
obat sebagai “feed additive” sudah banyak dilakukan oleh peternak unggas (ayam lokal, ayam ras broiler,
layer, puyuh, itik serta unggas kesayangan) di wilayah DKI, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Timur, Riau). Ternak ayam lokal (kampung) pedaging maupun petelur yang dipelihara pada
kelompok ternak di Jakarta Selatan, setiap hari diberi larutan jamu hewan melalui air minum ternyata
memberi respon positif terhadap pertumbuhan dan stamina ayam menjadi lebih baik (jarang sakit dan
mortalitas rendah), lemak karkas sangat rendah, aroma daging dan telur tidak amis, warna kuning telur lebih
oranye/skor diatas 7, serta bau kotoran ayam (ammonia) di sekitar kandang berkurang. Ternak ayam ras
broiler, petelur maupun unggas lokal (ayam dan itik) yang diberi ramuan tanaman obat sebagai “feed
additive” menunjukkan peningkatan terhadap efisiensi pakan dan kesehatan ternak

Kata kunci: Tanaman obat, jamu hewan, feed additive, kesehatan unggas

Tulisan Lengkap klik disini

PENGGUNAAN RAMUAN HERBAL SEBAGAI FEED ADDITIVE UNTUK MENINGKATKAN PERFORMANS BROILER

LAILY AGUSTINA
Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin
Kampus Tamalanrea Km 10 Makassar

ABSTRAK

Penelitin ramuan herbal pada broiler untuk mengetahui efek penggunaannya sebagai feed additive
terhadap performans dan menguji kemampuan daya hambat antibakteri yang dikandung dalam ramuan herbal
tersebut. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap 3 (tiga) dosis ramuan herbal P0 (0 ml per liter air
minum); P1 (2.5 ml per liter air minum) dan P2 (5 ml per liter air minum) dengan 5 (lima) ulangan dan setiap
unit perlakuan terdiri dari 5 (lima) ekor DOC. yang dipelihara sampai umur 35 hari. Parameter performans
yang diukur meliputi: konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, konversi pakan, rasio efisiensi protein,
persentase karkas dan persentase lemak abdominal. Disamping itu dilakukan uji daya hambat antibakteri
terhadap 3 (tiga) jenis bakteri yaitu Staphylococus aureus, Escherichia coli dan Pseudomonas aeruginosa
serta analisis kolesterol yang terkandung dalam darah ayam. Berdasarkan hasil dan pembahasan, disimpulkan
bahwa ramuan herbal mengandung antibakteri, mampu menurunkan kadar kolesterol darah dan bobot badan
tertinggi diperoleh pada pemberian 2.5 ml ramuan herbal per liter air minum.
Kata kunci: Ramuan herbal, Additive, performans broiler
tulisan lengkap klik disini

Kamis, 15 Januari 2009

Yolk Sac Infection, Omphallitis



Introduction
A condition seen worldwide in chickens, turkeys and ducks due to bacterial infection of the navel and yolk sac of newly hatched chicks as a result of contamination before healing of the navel. Disease occurs after an incubation period of 1-3 days. Various bacteria may be involved, especially E .coli, Staphylococci, Proteus, Pseudomonas. Morbidity is 1-10% and mortality is high in affected chicks. It is seen where there is poor breeder farm nest hygiene, use of floor eggs, inadequate hatchery hygiene or poor incubation conditions, for example poor hygiene of hatching eggs, 'bangers', and poor hygiene of setters, hatchers or chick boxes. Inadequate incubation conditions resulting in excessive water retention and slowly-healing navels and 'tags' of yolk at the navel on hatching also contribute to the problem.
Signs
• Dejection.
• Closed eyes.
• Loss of appetite.
• Diarrhoea.
• Vent pasting.
• Swollen abdomen.
Post-mortem lesions
• Enlarged yolk sac with congestion.
• Abnormal yolk sac contents (colour, consistency) that vary according to the bacteria involved.
Diagnosis
A presumptive diagnosis is based on the age and typical lesions. Confirmation is by isolation and identification of the bacteria involved in the internal lesions. Differentiate from incubation problems resulting in weak chicks.
Treatment
Antibiotics in accordance with sensitivity may be beneficial in the acute stages, however the prognosis for chicks showing obvious signs is poor; most will die before 7 days of age.
Prevention
Prevention is based on a good programme of hygiene and sanitation from the nest through to the chick box (e.g. clean nests, frequent collection, sanitation of eggs, exclusion of severely soiled eggs, separate incubation of floor eggs etc. There should be routine sanitation monitoring of the hatchery. Multivitamins in the first few days may generally boost ability to fight off mild infections.

www.thepoultrysite.com

Mycoplasma gallisepticum infection, M.g., Chronic Respiratory Disease - Chickens

Introduction
Infection with Mycoplasma gallisepticum is associated with slow onset, chronic respiratory disease in chickens, turkeys, game birds, pigeons and other wild birds. Ducks and geese can become infected when held with infected chickens. In turkeys it is most associated with severe sinusitis (see separate description in the turkey section). The condition occurs worldwide, though in some countries this infection is now rare in commercial poultry. In others it is actually increasing because of more birds in extensive production systems that expose them more to wild birds.

In adult birds, though infection rates are high, morbidity may be minimal and mortality varies.

The route of infection is via the conjunctiva or upper respiratory tract with an incubation period of 6-10 days. Transmission may be transovarian, or by direct contact with birds, exudates, aerosols, airborne dust and feathers, and to a lesser extent fomites. Spread is slow between houses and pens suggesting that aerosols are not normally a major route of transmission. Fomites appear to a significant factor in transmission between farms. Recovered birds remain infected for life; subsequent stress may cause recurrence of disease.

The infectious agent survives for only a matter of days outwith birds although prolonged survival has been reported in egg yolk and allantoic fluid, and in lyophilised material. Survival seems to be improved on hair and feathers. Intercurrent infection with respiratory viruses (IB, ND, ART), virulent E. coli, Pasteurella spp. Haemophilus, and inadequate environmental conditions are predisposing factors for clinical disease.
Signs
• Coughing.
• Nasal and ocular discharge.
• Poor productivity.
• Slow growth.
• Leg problems.
• Stunting.
• Inappetance.
• Reduced hatchability and chick viability.
• Occasional encephalopathy and abnormal feathers.
Post-mortem lesions
• Airsacculitis.
• Pericarditis.
• Perihepatitis (especially with secondary E. coli infection).
• Catarrhal inflammation of nasal passages, sinuses, trachea and bronchi.
• Occasionally arthritis, tenosynovitis and salpingitis in chickens.
Diagnosis
Lesions, serology, isolation and identification of organism, demonstration of specific DNA (commercial PCR kit available). Culture requires inoculation in mycoplasma-free embryos or, more commonly in Mycoplasma Broth followed by plating out on Mycoplasma Agar. Suspect colonies may be identified by immuno-flourescence.

Serology: serum agglutination is the standard screening test, suspect reactions are examined further by heat inactivation and/or dilution. Elisa is accepted as the primary screening test in some countries. HI may be used, generally as a confirmatory test. Suspect flocks should be re-sampled after 2-3 weeks. Some inactivated vaccines for other diseases induce 'false positives' in serological testing for 3-8 weeks. PCR is possible if it is urgent to determine the flock status.

Differentiate from Infectious Coryza, Aspergillosis, viral respiratory diseases, vitamin A deficiency, other Mycoplasma infections such as M. synoviae and M. meleagridis (turkeys).
Treatment
Tilmicosin, tylosin, spiramycin, tetracyclines, fluoroquinolones. Effort should be made to reduce dust and secondary infections.
Prevention
Eradication of this infection has been the central objective of official poultry health programmes in most countries, therefore M.g. infection status is important for trade in birds, hatchingeggs and chicks. These programmes are based on purchase of uninfected chicks, all-in/all-out production, biosecurity, and routine serological monitoring. In some circumstances preventative medication of known infected flocks may be of benefit.

Live attenuated or naturally mild strains are used in some countries and may be helpful in gradually displacing field strains on multi-age sites. Productivity in challenged and vaccinated birds is not as good as in M.g.-free stock.

www.thepoultrysite.com

Necrotic Enteritis


Introduction
An acute or chronic enterotoxemia seen in chickens, turkeys and ducks worldwide, caused by Clostridium perfringens and characterised by a fibrino-necrotic enteritis, usually of the mid- small intestine. Mortality may be 5-50%, usually around 10%. Infection occurs by faecal-oral transmission. Spores of the causative organism are highly resistant. Predisposing factors include coccidiosis/coccidiasis, diet (high protein), in ducks possibly heavy strains, high viscosity diets (often associated with high rye and wheat inclusions in the diet), contaminated feed and/or water, other debilitating diseases.
Signs
• Depression.
• Ruffled feathers.
• Inappetance.
• Closed eyes.
• Immobility.
• Dark coloured diarrhoea.
• Sudden death in good condition (ducks).
Post-mortem lesions
• Small intestine (usually middle to distal) thickened and distended.
• Intestinal mucosa with diptheritic membrane.
• Intestinal contents may be dark brown with necrotic material.
• Reflux of bile-stained liquid in the crop if upper small intestine affected.
• Affected birds tend to be dehydrated and to undergo rapid putrefaction.
Diagnosis
A presumptive diagnosis may be made based on flock history and gross lesions Confirmation is on the observation of abundant rods in smears from affected tissues and a good response to specific medication, usually in less than 48 hours.
Treatment
Penicillins (e.g. phenoxymethyl penicillin, amoxycillin), in drinking water, or Bacitracin in feed (e.g. 100 ppm). Treatment of ducks is not very successful, neomycin and erythromycin are used in the USA. Water medication for 3-5 days and in-feed medication for 5-7 days depending on the severity.
Prevention
Penicillin in feed is preventive, high levels of most growth promotors and normal levels of ionophore anticoccidials also help. Probiotics may limit multiplication of bacteria and toxin production. In many countries local regulations or market conditions prevent the routine use of many of these options.

www.thepoultrysite.com

Colibacillosis, Colisepticemia

Introduction
Coli-septicaemia is the commonest infectious disease of farmed poultry. It is most commonly seen following upper respiratory disease (such as Infectious Bronchitis) or Mycoplasmosis. It is frequently associated with immunosuppressive diseases such as Infectious Bursal Disease Virus (Gumboro Disease) in chickens or Haemorrhagic Enteritis in turkeys, or in young birds that are immunologically immature. It is caused by the bacterium Escherichia coli and is seen worldwide in chickens, turkeys, etc.

Morbidity varies, mortality is 5-20%. The infectious agent is moderately resistant in the environment, but is susceptible to disinfectants and to temperatures of 80°C.

Infection is by the oral or inhalation routes, and via shell membranes/yolk/navel, water, fomites, with an incubation period of 3-5 days.

Poor navel healing, mucosal damage due to viral infections and immunosuppression are predisposing factors.
Signs
• Respiratory signs, coughing, sneezing.
• Snick.
• Dejection.
• Reduced appetite.
• Poor growth.
• Omphalitis.
Post-mortem lesions
• Airsacculitis.
• Pericarditis.
• Perihepatitis.
• Swollen liver and spleen.
• Peritonitis.
• Salpingitis.
• Omphalitis.
• Synovitis.
• Arthritis.
• Enteritis.
• Granulomata in liver and spleen.
• Cellulitis over the abdomen or in the leg.
• Lesions vary from acute to chronic in the various forms of the disease.
Diagnosis
Isolation, sero-typing, pathology. Aerobic culture yields colonies of 2-5mm on both blood and McConkey agar after 18 hours - most strains are rapidly lactose-fermenting producing brick-red colonies on McConkey agar.

Differentiate from acute and chronic infections with Salmonella spp, other enterobacteria such as Proteus, as well as Pseudomonas, Staphylococcus spp. etc.
Treatment
Amoxycillin, tetracyclines, neomycin (intestinal activity only), gentamycin or ceftiofur (where hatchery borne), potentiated sulphonamide, flouroquinolones.
Prevention
Good hygiene in handling of hatching eggs, hatchery hygiene, good sanitation of house, feed and water. Well-nourished embryo and optimal incubation to maximise day-old viability.

Control of predisposing factors and infections (usually by vaccination). Immunity is not well documented though both autogenous and commercial vaccines have been used.

www.thepoultrysite.com

Ascites

Introduction
Associated with inadequate supplies of oxygen, poor ventilation and physiology (oxygen demand, may be related to type of stock and strain). Ascites is a disease of broiler chickens occurring worldwide but especially at high altitude. The disease has a complex aetiology and is predisposed by reduced ventilation, high altitude, and respiratory disease. Morbidity is usually 1-5%, mortality 1-2% but can be 30% at high altitude. Pulmonary arterial vasoconstriction appears to be the main mechanism of the condition.
Signs
• Sudden deaths in rapidly developing birds.
• Poor development.
• Progressive weakness and abdominal distension.
• Recumbency.
• Dyspnoea.
• Possibly cyanosis.
Post-mortem lesions
• Thickening of right-side myocardium.
• Dilation of the ventricle.
• Thickening of atrioventricular valve.
• General venous congestion.
• Severe muscle congestion.
• Lungs and intestines congested.
• Liver enlargement.
• Spleen small.
• Ascites.
• Pericardial effusion.
• Microscopic - cartilage nodules increased in lung.
Diagnosis
Gross pathology is characteristic. A cardiac specific protein (Troponin T) may be measured in the blood. This may offer the ability to identify genetic predisposition. Differentiate from broiler Sudden Death Syndrome and bacterial endocarditis.
Treatment
Improve ventilation, Vitamin C (500 ppm) has been reported to be of benefit in South America.
Prevention
Good ventilation (including in incubation and chick transport), avoid any genetic tendency, control respiratory disease.

www.thepoultrysite.com

Senin, 05 Januari 2009

Awas Budidaya Unggas di Musim Penghujan

Menghadapi musim hujan, ada tiga hal yang harus dibenahi,yakni kondisi kandang, manajemen budidaya dan kesiapan petugas kandang. Disamping itu, waspadai juga penyakit yang mungkin timbul.
Seperti kata pepatah sedia payung sebelum hujan, demikian juga dunia perunggasan dalam menyambut datangnya musim hujan. Payung untuk budidaya perunggasan berupa kesiapan kandang menghadapi musim penghujan, kesesuaian manajemen terhadap kondisi yang dihadapi selama musim penghujan, kesiapan petugas kandang mengantisipasi semua kemungkinan yang ada.

Kesiapan kandang. Sebelum musim penghujan tiba kandang harus sudah disiapkan. Yang perlu dicermati antara lain :

* Kondisi atap: Benahi atap apabila terdapat kebocoran. Masuknya air hujan dapat menyebabkan basahnya litter, pakan, bahkan ayam. Kejadian ini dapat menimbulkan terjadinya kasus jamur, hipotermi, maupun meningkatnya kandungan amoniak. Selain itu masuknya air hujan ke dalam menyebabkan kayu atau bambu kerangka kandang cepat rapuh, sehingga membuat biaya operasional meningkat.
* Kondisi gudang: Gudang hendaknya tetap dalam kondisi kering, sehingga pakan dapat terjaga mutunya. Bila lantai gudang lembab, pemakaian penyangga pakan sangat disarankan. Penyangga dapat dibuat dari kayu, maupun bambu.
* Saluran air: Saluran air yang baik dapat menghindarkan kandang dari kebanjiran, maupun basahnya kotoran ayam. Dengan lancarnya aliran air, diharapkan genangan-genangan air di sekitar kandang dapat dikurangi.
* Air minum: Pada waktu musim hujan volume air dalam sumber air meningkat, kadang permukaan air hampir sama dengan permukaan tanah. Apabila sumber air terletak di daerah yang kandungan kumannya tinggi, seperti dekat kandang, dekat tempat pembuangan, maka disarankan untuk memberikan klorin pada air minum.

Kesesuaian manajemen. Diantaranya manajemen pakan, sanitasi, biosecurity dan manajemen litter.

* Manajemen pakan: Penyimpanan pakan harus memperhitungkan kondisi gudang selama musim hujan. Hindari basahnya pakan, karena akan mempengaruhi mutu pakan, baik komposisi, bentuk aroma, maupun menghindari tumbuhnya jamur pada pakan.
* Sanitasi: Siapkan tempat dipping dimuka kandang.
* Biosecurity: Musim hujan basahnya diikuti dengan meningkatnya populasi lalat dan nyamuk, hal ini disebabkan adanya genangan air di sekitar kandang. Lalat dan nyamuk merupakan vektor dari berbagai macam penyakit. Untuk itu usaha pemberantasan serangga harus menjadi program disaat musim penghujan.
* Manajemen litter. Usahakan litter tetap kering. Bila litter basah usahakan segera diganti. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah persediaan litter selama musim penghujan harus cukup.

Kesiapan petugas. Petugas hendaknya siap terhadap kasus-kasus yang sifatnya mendadak, untuk itu kesiapan petugas kandang sangat diperlukan, seperti mengoptimalkan suhu selama masa brooding, mengontrol kondisi atap, saluran air dan kondisi gudang.
Kasus penyakit. Beberapa penyakit yang biasa timbul selama musim penghujan diantaranya:

* Colibacilosis : Disebabkan oleh infeksi baktri Eschericia coli. Penularan melalui kontak langsung antara ayam sakit dengan ayam sehat melalui pakan, minum dan debu yang tercemar. Colibacilosis dapat menyebabkan kematian embrio. Infeksi yolk sac, omfalis, ooforitis, salpingitis, koligranuloma dan arthritis. Hal yang dapat dilakukan dengan mengoptimalkan sanitasi, bisecurity dan ventilasi udara.
* Coccidiosis: Disebabkan oleh Eimeria (protozoa). Penyakit ini menyerang saluran pencernaan ayam sehingga gejala yang sering timbul adalah berak darah. Pencegahan dengan mengoptimalkan sanitasi, ventilasi udara, sinar matahari dan biosecurity.
* Jamur: Jenis jamur yang sering menyerang ayam adalah Aspergillus. Jamur ini masuk ke tubuh ayam melalui pakan atau litter. Jamur ini terutama menyerang saluran pernafasan ayam.

Penyakit-penyakit lain yang penularannya melalui vektor lalat tikus dan nyamuk. Pada musim hujan, genangan air banyak terdapat disekitar kandang, sehingga populasi nyamuk meningkat. Basahnya kotoran ayam juga menyebabkan populasi lalat meningkat. Dengan turunnya hujan, semak-semak sekitar kandang juga menjadi rimbun sehinga menjadi tempat sembunyi tikus. Untuk itu program pembasmian tikus, lalat dan nyamuk harus dilaksanakan pada musim penghujan.

sumber http://mitraunggas.com/index.php?main_page=more_news&news_id=9

Karakteristik Strain Broiler


Karakteristik serta keunggulan strain broiler dan layer di Indonesia antara lain:

Strain Cobb (broiler)

1. Titik tekan pada perbaikan FCR
2. Pengembangan genetik diarahkan pada pembentukan daging dada
3. Mudah beradaptasi dengan lingkungan tropis (heat stress)
4. Produksi efisien (Bobot badan 1,8 – 2 kg; FCR 1,65)

Strain Hybro (broiler)

1. Fokus terhadap kekuatan dan daya hidup
2. Menjaga keseimbangan antara sifat broiler dan breeder
3. Performa bagus pada iklim tropis
4. Tahan terhadap kasus ascites
5. Fokus pengembangan genetik pada hasil/produk karkas

Strain Ross (broiler)

1. FCR lebih efisien
2. Laju pertumbuhan lebih cepat
3. Daya hidup lebih bagus
4. Fokus pengembangan genetik pada kekuatan kaki sebagai penyeimbang berat badan

sumber www.cjfeed.co.id/

Kamis, 01 Januari 2009

Jangan Biarkan Ayam Anda Sakit


SUATU usaha budidaya unggas tidak selamanya berhasil. Terkadang gagal alias rugi. Berbagai macam faktor penyebabnya, cuaca, pakan yang kurang baik, harga pasar yang rendah dan kesehatan ayam, dalam hal ini ayam yang dipelihara sakit. DOC yang dikirim dari hatchery ke kandang telah melalui suatu proses seleksi yang sangat ketat, oleh karena itu peluang untuk ayam kesehatannya terganggu sangatlah kecil. Namun sampai hari ini masih banyak kasus penyakit yang terjadi karena prinsip-prinsip manajemen pemeliharaan budidaya dan biosecurity tidak diterapkan oleh beberapa kalangan peternak atau pebisnis ayam, sehingga kerugian setiap saat menghadang. Penyakit yang terjadi pada unggas bukan hanya disebabkan oleh kondisi lingkungan yang tidak bersahabat atau dengan kata lain tidak dapat diatur, namun juga sangat banyak disebabkan oleh kelalaian pemelihara atau peternak. Dalam hal manajemen, umumnya peternak berpegang atau berpedoman pada kebiasaan tanpa melihat kondisi lingkungan, sehingga kegagalan yang diperoleh karena kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh ayam tidak diberikan sebagaimana mestinya. Penyebaran penyakit pada unggas dapat terjadi secara vertikal dan horizontal. Karena itu pengawasan yang ketat perlu dilakukan dan perlu juga perhatian yang lebih jika ayam yang dipelihara terinfeksi suatu penyakit. Beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan seperti: umur ayam yang terinfeksi penyakit, tingkat morbiditas, jenis antibiotik dan dosis antibiotik yang akan digunakan untuk mengobati ayam yang sakit, semuanya ini merupakan hal yang sangat penting dan harus diketahui oleh seorang peternak .

Mekanisme Transmisi Penyakit
Mekanisme transmisi penyakit yang telah dikenal ada beberapa sebagai berikut :
1. Transovarial Route ( Secara Vertikal ) dari induk melalui telur, seperti Mycoplasmosis, Pullorum, Reovirus dan Adenovirus.
2. Transmisi Melalui Egg Shell (E.Coli, Salmonella SPP).
3. Transmisi Langsung (Salmonellosis, Coryza, Mycoplasmosis, Laryngotrachetis dan Pasteurellosis).
4. Transmisi Tidak Langsung (Transport, Equipment dan Feed yang dikirim ke farm).
5. Melalui Angin (Jarak 5 KM bahkan lebih, penyakit vvND dan ILT masih dapat menyerang).
6. Vektor Biologis (Burung– burung liar vektor AI dan Pasteurella SPP).
7. Pakan (Kontaminasi).
8. Vaksin (Kontaminasi).

Berapa Lama Bibit Penyakit Itu Bertahan?
Daya hidup penyakit sangat bervariasi tergantung dari penyakit tersebut, contoh : daya hidup Mycoplasma Galliseptikum (pada gambar 1).

Peran Dan Mekanisme KerjaAntibiotik
Antibiotik merupakan zat kimiawi yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang mempunyai kemampuan, dalam larutan encer, untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme ( Newman, 2002 ). Tidak semua penyakit yang menyerang unggas harus diberi antibiotik. Ada beberapa hal yang perlu dipahami mengenai peran dan mekanisme kerja antibiotik. Disamping itu pula seorang peternak harus mampu atau memahami secara detail waktu paruh obat yang digunakan untuk mengobati penyakit yang menyerang unggas agar aplikasinya tepat sehingga dapat memberikan kesembuhan. Waktu paruh adalah jangka waktu sampai kadar obat dalam darah menurun menjadi separuh dari harga asalnya ( Mutschler, 1991 ) atau kadang juga didefinisikan sebagai waktu yang diperlukan oleh tubuh untuk menetralisir obat tersebut. Waktu paruh dari berbagai jenis antibiotik dapat dilihat pada Tabel
1 dibawah ini :
Hindari agar Ayam tidak Sakit
Beberapa hal yang perlu dilakukan atau dilaksanakan oleh peternak agar terhindar dari kerugian yang disebabkan karena ayam sakit:
1. Biosecurity yang ketat.
2. Down Time atau masa istirahat kandang yang cukup, minimal 14 hari.
3. Usahakan umur ayam dalam satu farm seragam.
4. Waktu dan aplikasi vaksin yang tepat dan akurat.
5. Lalu lintas karyawan diperketat, sebaiknya jangan berpindah dari satu kandang kekandang lain.
6. Lakukan uji sensitivitas antibiotik secara berkala, agar antibiotik yang sudah resisten tidak terpakai.
7. Jaga kebersihan didalam dan diluar farm.
8. Pemberian pakan yang teratur.
9. Pemberian vitamin, terutama pada satu hari sebelum vaksin, pada saat vaksin dan satu hari setelah vaksin, karena dampak reaksi post vaksinasi yang berat dapat mengakibatkan ayam menjadi sakit.

Pemberian Antibiotik Pada Ayam
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemberian antibiotik pada ayam :
1. Antibiotik yang diberikan harus disesuaikan dengan kondisi ayam, apakah untuk pencegahan atau untuk pengobatan
2. Pilihlah antibiotik yang cocok, dalam hal ini memiliki daya kerja untuk membunuh
mikroorganisme patogen atau sesuaikan dengan spekrum antibiotik tersebut.
3. Berikan antibiotik sesuai dengan waktu paruh yang dimiliki oleh antibiotik tersebut
yang dipilih.
4. Berat badan dan konsumsi air minum mutlak harus diketahui agar antibiotik yang diberikan sesuai dosis yang dibutuhkan.
5. Perhatikan waktu henti obat dan lama pemberiannya.
6. Kemampuan diagnosa yang akurat agar tidak salah dalam pemberian dosis, dalam artian dilihat tingkat morbiditas.
7. Perhatikan umur ayam yang akan diobati.



Kesimpulan
Dari beberapa hasil survey yang dilakukan ditemukan bahwa umumnya farm yang tingkat kebersihannya rendah sangat banyak terjadi kasus penyakit, akan tetapi farm yang kondisi lingkungannya bersih dan manajemen yang bagus sangat jarang terjadi kasus penyakit. Sanitasi yang baik sudah menentukan 80 persen tingkat keberhasilan dalam hal budidaya unggas.
(Oleh : By : Syahrir Akil,
Technical Service and Development, PT.
CPI) Jakarta

Tabel 1. Waktu Paruh Berbagai Jenis Antibiotik.
NAMA ANTIBIOTIKA WAKTU PARUH
AMPICILLIN 10 – 15 MENIT
PENICILLIN 1 JAM
CHLORAMPHENICOL 1,2 JAM
OXYTETRACYCLINE 4,2 JAM
TYLOSIN 5 JAM
KEL. SULFA > 6 JAM
TRIMETHOPRIM > 6 JAM
DOXYCICLINE 16 – 18 JAM
ERYTROMYCIN 8 – 9 JAM


BULETIN CP. MARET 2008 Nomor 99/Tahun IX

Paradigma Baru pada Manajemen Brooding


ADA satu pengalaman menarik yang penulis alami saat musim hujan. Saat itu menjelang tengah malam sekitar pukul 23.15 WIB yang diawali hujan saat sore hari. Penulis melihat ayam broiler umur 5 hari mengalami panting atau megapmegap di dalam kandang. Suhu terukur saat itu adalah 300C. Penulis ingat betul, umur tersebut
semestinya ayam masih berada pada fase brooding yang justru memerlukan suhu tinggi. Bila kita perhatikan suhu terukur tersebut, mestinya masih kurang dari 340C, tetapi pada kenyataannya ayam mengalami panting. Pengalaman menarik seperti ini barangkali sering juga dialami peternak-peternak kita. Hanya saja tidak diketahui faktor apa yang menyebabkan ayam tersebut panting. Menurut arahan dan literature yang kita dapatkan di Indonesia, suhu yang harus dicapai pada masa brooding adalah kisaran 33 sampai 350C dan menurun 0,50C setiap harinya. Karena pada masa tersebut thermoregulasi ayam masih belum berfungsi secara sempurna untuk menjaga
stabilitas panas tubuhnya.

Suhu Efektif
Dari hasil kajian literatur yang dikombinasi dengan pengalaman lapangan, sudah semestinya kita mengubah paradigma lama dalam manajemen brooding. Selama ini kita masih terpaku pada target pencapaian suhu brooding yang maksimal. Kita perlu secara sadar untuk mencoba memahami suhu efektif yang benar-benar dirasakan ayam. Berbeda dengan suhu terukur, suhu efektif merupakan suhu yang benar-benar dirasakan oleh ayam. Suhu efektif berasal dari suhu terukur yang dikombinasi dengan kelembaban relative (%RH) terukur. Artinya, bila pada alat ukur suhu tercatat 300C, maka suhu yang benarbenar dirasakan oleh ayam belum tentu 300C. Sebagai contoh pada saat bersamaan dengan itu, % kelembaban relatif (%RH) terukur adalah 85% maka suhu yang benar-benar dirasakan oleh ayam adalah lebih tinggi dari 300C. Tetapi bila saat itu % kelembaban relatif (%RH) terukur adalah 55 sampai 60% maka suhu yang benar-benar dirasakan oleh ayam adalah sama, yaitu 300C. Inilah yang dinamakan suhu efektif, yaitu suhu yang dirasakan dari kombinasi suhu dan % kelembaban relatif. Sedangkan suhu terukur atau ambient temperatur merupakan suhu
yang terbaca pada pengukuran menggunakan alat ukur termometer.

Heat Stress Index
Bila kita lebih jauh membicarakan kombinasi suhu dan % kelembaban relatif (%RH),
maka kita akan masuk pada satu pengertian dasar yaitu Heat Stress Index. Heat Stress Index didefinisikan sebagai suatu index yang menjadi ukuran tingkatan dimana ayam masih dapat beradaptasi atau tidak terhadap kondisi cuaca. Heat stress index yang masih dapat ditolerir oleh ayam adalah 160, artinya apabila heat stress index melebihi angka 160 maka ayam akan mengalami panting atau megap-megap. Sebaliknya bila angka heat stress index di bawah 160 maka ayam masih dapat beradaptasi. Semakin bertambahnya umur ayam, standar heat stress index semakin menurun. Heat stress index standar anak ayam umur sehari (DOC) adalah 155 sedangkan umur 35 hari adalah 140. Ayam akan mulai mengalami panting bila Heat Index di atas 155, dan kelembaban merupakan bagian utama dari permasalahan ini. Pada suhu yang sama dengan kelembaban yang lebih tinggi, maka secara fisiologis ayam akan merasakan suhu yang lebih tinggi dari pada suhu yang terukur. Heat stress index didapatkan melalui kalkulasi suhu dan % kelembaban relatif (%RH) dengan menjumlahkan suhu dalam satuan Fahrenheit dengan % kelembaban relatif (%RH) terukur. Contoh di atas, pada suhu 300C (860F) dengan % kelembaban relatihf (%RH) terukur adalah 85%, maka heat stress index adalah 171 jauh di atas 160. Maka sudah semestinya apabila ayam saat itu mengalami panting. Sekarang, yang menjadi pertanyaan adalah pada suhu berapa kita semestinya memperlakukan ayam agar tidak mengalami panting. Untuk menjawab pertanyaan ini kita memerlukan angka standar heat stress index berdasarkan umur ayam. Selain itu kita harus mengukur terlebih dahulu berapa % kelembaban relative (%RH). Dari dua sumber data ini maka kita dapat mengetahui
pada suhu berapa ayam akan merasakan suhu yang nyaman bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Kesalahan awal memperlakukan anak ayam dapat menyebabkan pencapaian performance yang tidak maksimal. Umumnya, kesalahan manajemen brooding ini sering tidak nampak karena kekeliruaan persoalan brooding dianggap masih masalah yang sepele. Oleh karena itu mulai saat ini mari kita sama-sama memperbaiki paradigma dalam manajemen brooding. Kita jangan hanya terpaku pada target pencapaian suhu brooding, tapi amati juga faktor kelembaban relatifnya

Tabel Standar Suhu dan Kelembaban Saat Brooding
Umur (hari) Suhu % Kelembaban Heat Index
oC oF
1 32 90 65 155
2 32 90 65 155
3 32 90 65 155
4 31 88 65 153
5 31 88 65 153
6 31 88 65 153
7 30 86 65 151
8 30 86 65 151
9 30 86 65 151
10 30 86 65 151
11 30 86 65 151
12 30 86 65 151
13 30 86 65 151
14 30 86 65 151
Keterangan :
Heat Index didapat dari rumus berikut : Heat Index = Suhu (OF) + % Kelembaban

Pengaruh Heat Index terhadap performance
Heat Index < 150 : tidak menyebabkan permasalahan performance
Heat Index 155 : merupakan batas atas terjadinya penurunan performance
Heat Index 160 : penurunan feed intake, peningkatan water intake, dan
penurunan performance
Heat Index 165 : awal kejadian kematian dan kerusakan permanen pada
paru-paru dan system peredaran darah
Heat Index 170 : dapat menyebabkan tingginya kematian

Sopyan Haris, Technical
support, CPI Surabaya
Sumber : Technical Focus, publication of Cobb Vantress, Inc.

BULETIN CP. MARET 2008 Nomor 99/Tahun IX

Menentukan Kualitas Air

AIR merupakan komponen penting dalam kehidupan,.Bagi makhluk hidup air merupakan salah satu bahan nutrisi. Fungsi air bagi tubuh adalah untuk pengaturan temperatur badan, pengangkutan bahan nutrisi lainnya dan turut juga dalam berbagai reaksi kimia dalam tubuh. Kebutuhan air pada unggas seringkali kurang diperhatikan.
Pemberian air terkadang hanya 2 kali dari makanan yang dikonsumsi (contoh : 1 kg pakan yang diberikan, maka air minum adalah 2 liter air).
Pemberian air minum perlu diperhatikan, terutama pada kondisi panas. Ayam akan minum lebih banyak (lebih dari 2 kali). Berikut konsumsi air berbagai unggas (untuk 100 ekor unggas) :
a. Broiler :
- Umur < 3 minggu = 2– 10 liter/hari
- Umur > 3 minggu =10 – 30 liter/hari
b. Layer : 18 – 30 liter/hari tergantung pada level produksi telurnya.
c. Itik :
- Umur < 4 minggu = 3– 12 liter/hari
- Umur > 4 minggu = 12 – 33 liter/hari
d. Angsa :
- Umur < 4 minggu = 3 – 25 liter/hari
- Umur > 4 minggu = 25 – 35liter/hari
e. Kalkun :
- Umur < 4 minggu = 2 – 11liter/hari
- Umur > 4 minggu = 11 – 60liter/hari

Konsumsi air dapat dipengaruhi oleh jenis makanan, laju pertumbuhan dan produksi, status penyakit dan temperatur lingkungan. Pada dasarnya air harus selalu tersedia terus menerus.
Kualitas air dalam suatu peternakan sudah seharusnya dipertimbangkan. Pengukuran kualitas air dapat dilakukan dengan berbagai parameter, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. TDS (Total Dissolved Solids) meliputi semua mineral yang larut dalam air. TDS dapat mempengaruhi unggas tetapi tergantung pada mineral yang terkandung dalam air tersebut. TDS yang > 1500 ppm (mg/liter) tidak dapat diterima unggas di bawah umur 3 minggu, > 3000 ppm tidak baik untuk anak ayam dan anak itik, > 4000 ppm dapat meningkatkan kasus wet dropping pada ayam betina dan kalkun, > 7000 ppm tidak bias diterima oleh semua spesies unggas.
2. Salinitas adalah kadar garam yang terkandung dalam air. Salinitas sering digunakan sebagai parameter mengukur kualitas air yang dapat dipertukar dengan TDS, karena TDS juga mencakup garam mineral yang terkandung didalamnya.
3. Sodium (Na). Air yang tinggi kandungan sodiumnya dapat menyebabkan litter basah dan dapat menyebabkan dehidrasi Penelitian juga memperkirakan bahwa tingginya level sodium dapat menyebabkan ascites pada broiler dan kalkun. Level sodium >500 ppm perlu diperhatikan tetapi dapat diatasi dengan menurunkan kadar garam dalam pakan.
4. Kesadahan air. Mineral kalsium dan magnesium penyebab utama kesadahan air. Magnesium dapat mempengaruhi palatabilitas air. Kesadahan air akan membentuk kerak air di dalam pipa paralon (pipa air).
5. Sulfat. Sulfat dapat memberikan efek sebagai pencuci perut pada unggas dan dapat menyebabkan litter basah jika konsentrasinya >500 ppm. Konsentrasi > 500 ppm dalam air tidak layak diberikan pada unggas, jika > 1500 ppm dalam air tidak baik untuk anak ayam. Level > 3000 ppm tidak dapat diterima oleh unggas.
6. Nitrat dan nitrit. Keberadaan nitrat dan nitrit dapat diindikasikan bahwa air tersebut telah tercemar oleh bakteri (kontaminasi kotoran hewan atau manusia). Nitrit lebih berbahaya dengan dua komponennya. Dalam jumlah yang banyak dapat menganggu darah dalam mengangkut oksigen dan bersifat racun. Level maksimum nitrat yang direkomendasikan cukup bervariasi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi < 300 ppm Nitrat masih bias ditoleransi unggas, namun beberapa penelitian yang lain menyarankan bahwa level maksimum nitrat adalah 50 ppm.
7. Besi.Besi dapat diperoleh karena pencemaran dari peralatan atau kotoran lain. Besi dapat mempengaruhi rasa namun umumnya tidak terlalu beresiko pada kesehatan unggas, tetapi secara tidak langsung merupakan suatu ancaman terhadap kesehatan unggas. Pengukuran kualitas air sebaiknya dilakukan lebih dari 1 parameter pengukuran untuk menentukan bahwa air tersebut layak atau tidak bagi unggas.

BULETIN CP. SEPTEMBER 2006 Nomor 81/Tahun VII

Roli Sofwah Hakim
(Sumber : www.agriorganics.com/
poultry.html)

Antara peluang dan ancaman bisnis ayam broiler

Ayam broiler atau lebih di kenal ayam potong adalah jenis unggas yang telah mengalami seleksi gen bertahun tahun.Sehingga hanya dalam waktu produksi 35 sampai 40 hari sudah layak di konsumsi.Hal ini menyebabkan selama masa produksi memerlukan perlakuan khusus. Baik dari jenis makanannya (konsentrat) , pencegahan penyakit (vaksinasi& obat2an) maupun saat masa panen(distribusi).
Sejak bisnis ayam potong berkembang di Indonesia selama pengamatan & pengalaman penulis selalu terjadi masalah klasik setiap tahunnya.Yaitu:
1. Fluktuasi harga input( Day Old Chik,pakan,obat obatan).
2. Fluktuasi harga out putnya( harga jual daging hidup).
3. Dari segi pemeliharaan munculnya bermacam2 penyakit pada saat pergantian musim sering terjadi.
3 hal inilah yang sering menjadi kendala utama dalam bisnis ayam broiler. Dalam dunia ekonomi fluktuasai harga input dan output sangat di pengaruhi oleh permintaan dan penawaran. Beberapa hal yang memepengaruhi permintaan daging ayam broler antara lain:
1. Budaya masyarakat Indonesia yang menganggap daging masih merupakan menu special. Adanya momen lebaran, natal, tahun baru, ataupun bulan banyak masyarakat melangsungkan pesta pernikahan biasanya akan terjadi kenaikan permintaan daging. Tetapi setelah momen itu selesai atau memasuki tahun ajaran pendidikan yang baru biasanya akan terjadi pemurunanan permintaan daging broiler.
2. Kebiasaan masyarakat yang suka mengkonsomsi daging segar juga sangat mempengaruhi permintaan. Beda dengan di Negara-negara maju yang sudah terbiasa mengkonsumsi daging beku.
3. Adanya isu penyakit flu burung juga berpengaruh pada penurunan permintaan.

Beberapa hal di atas itulah yang biasa digunakan para peternak untuk membentuk penawaran.Yaitu menentukan jumlah ayam yang akan di pelihara untuk dipanen 40 hari ke depan. Apakah sesuai dengan kapasitas kandang atau kurang.Celakanya belum adanaya komunikasi secara baik antara perusahaan penyedia bibit ayam umur sehari(breeding) dengan peternak ayam broiler menyebabakan over produksi. Yang berimbas pada anjloknya harga jual daging ayam hidup di tingkat peternak.Akibatnya kerugian lah yang akan di derita oleh peternak.Secara rinci dapat penulis jelaskan beberapa pertimbangan yang digunakan peternak dalam membuat penawaran adalah sebagai berikut: Momen hari-hari besar seperti yang dijelaskan diatas sampai sekarang masih di gunakan para peternak sebagai patokan jumlah populasi ayam broiler yang akan di pelihara. Harga DOC.Karena belum bisa memproduksi bibit secara mandiri, maka peternak sangat tergantung pada perusahaan breeding sebagai penyedia bibit ayam broiler.Tidak adanya kontinyunitas pemeliharaan dari peternak juga tidak adanya kontrak harga beli DOC antara peternak dan perusahaan breeding menyebabkan harga DOC pun di pengaruhi demand dan suplay.Sebagai gambaran, pada saat permintaan DOC oleh peternak meningkat harga beli bisa mencapai Rp 3700/ekor. Tetapi disaat permintaan menurun harga beli bisa dibawah Rp 500/ekor.(Asumsi harga ini sekitar tahun 2000-2003.).

Harga pakan ayam..Perlunya pengetahuan mengenai konsentrasi ransum pakan yang sesuai dengan kebutuhan ayam broiler menyebabakan peternak sangat tergantung pada pakan konsentrat dari pabrik dalam budidaya ayam
broilernya.Bila harga beli konsentrat mengalami kenaikan akibat naiknya bahan baku pakan, peternakpun akan berfikir ulang dalam memulai budidayanya.Kekawatiran peternak apabila kenaikan pakan tanpa diiringi harga jual daging ayam di pasaran, tentunya peternak akan merugi. Harga Obat-obatan( vaksinasi & vitamin).Walaupun hanya sekitar 10% -15% biaya obat obatan dalam pembudidayaan ayam broiler tetap saja akan menjadi bahan pertimbangan peternak.Karena bila terjadi serangan penyakit yang vital biaya pengobatan pun akan naik.
Pergantian musim atau pancaroba.Perubahan musim penghujan ke musim kemarau atau sebaliknya, biasanya akan disertai datangnya penyakit baik yang disebabkan virus,bakteri maupun jamur.Terjadinya penurunan daya tahan tubuh ayam pada saat peubahan musim karena frekuensi suhu yang menyolok menyebabkan ayam akan mudah terserang penyakit. Dengan pertimbangan di atas biasanya peternak akan menghentikan sementara budidayanya.

Kata ekonom kalau mau untung besar ya harus berani mengambil resiko yang besar pula.Statmen ini tak jauh beda pada bisnis budidaya ayam broiler jika ingin meraup keuntungan yang besar.Karena didalam resiko yang besar itu terdapat pula peluang yang besar.Dari uraian diatas ada beberapa peluang yang bisa diambil.
1. Bila para peternak beramai ramai memelihara ayam broiler untuk dipanen pada saat lebaran tiba,maka sebaiknya kita memelihara untuk dipanen pada awal puasa atau pertengahan puasa.
2. Salah satu yang bisa digunakan sebagai indikasi perkiraan permintaan daging ayam broiler pada 40 hari sampai 60 hari ke depan adalah harga beli DOC.Bila harga DOC turun bisa dipastikan permintaan DOC oleh peternak juga turun. Logikanya kebutuhan daging untuk 60 hari kedepan tidak ada pasokan, karena peternak sudah memanen sebelumnya.Dengan asumsi harga jual daging stabil kita bisa mulai memelihara pada saat harga DOC turun.
3. Mahalnya harga pakan konsentrat dapat kita siasati dengan pencampuran bungkil jagung dengan pakan jadi untuk menekan biaya produksi.Dengan pertimbangan penambahan bungkil jagung berbanding denagn bobot ayam hal ini dapat kita lakukan.
4. Disaat para peternak mengosongkan kandangnya karena perubahan musim,disinilah kita beranikan untuk mengisi kandang ayam kita.Tentunya harus kita bekali dengan pengetahuan yang memadai tentang pemeliharaan ayam broiler yang intensif.Hal ini berkaitan dengan perlunya perlakuan pemeliharaan khusus disaat perubahan musim agar ayam tidak mudah terserang penyakit.

Contributed by Sigid Yuwono
Thursday, 12 June 2008
Last Updated Saturday, 28 June 2008

probiz.wgtt.org
http://probiz.wgtt.org