Sumiyana, peternak broiler dengan sistem closed house yang berlokasi di Kulon Progo, Jogjakarta mengatakan, teknologi closed house unggul secara teknis budidaya sehingga proses produksi optimal, sehingga menjanjikan keuntungan. Tetapi, kata dia, keunggulan tersebut percuma jika harga produk hasil panen jeblok terus menerus. ”Tetap saja peternak rugi,” kata dia. Menurut Sumiyana, kondisi saat ini yang harus dibenahi adalah bisnisnya, bukan teknis.
Sumiyana mulai April 2013 memutuskan menggelontorkan dana hingga Rp 4,6 miliar untuk berinvestasi di usaha broiler dengan sistem closed house. Tiga closed house didirikan, masing-masing ukuran 100 x 9 m2 yang dapat memuat 27 ribu ekor, sehingga total ia memiliki populasi 80 ribu ekor.
Dan menjadi peternak plasma dengan menginduk pada perusahaan besar (integrator) dipilih Sumiyana. Dalam hitung-hitungannya diatas kertas waktu itu, menurut dia pola kemitraan closed house tersebut akan menguntungkan dan risikonya dapat diminimalkan. ”Saya berani karena saat itu saya hitung, masih bisa nutup untuk bayar bunga pinjaman komersial dari bank,” ujar pria yang juga Dosen Fakultas Ekonomi di Universitas Gajah Mada (UGM) Jogjakarta ini.
Sumiyana ditarget oleh inti untuk memperoleh margin per ekor Rp 5.000. Angka ini merupakan selisih harga jual ayam dikurangi biaya DOC, pakan, dan obat yang disediakan oleh perusahaan inti. Bukan pekerjaan mudah, karena untuk mendapat margin ini peternak harus mencapai tingkat efisiensi yang baik. Sumiyana mengaku sulit mencapai angka target margin Rp 5.000 per ekor. Kenyataannya ia hanya mampu meraih angka margin di kisaran Rp 3.000 per ekornya. Penjelasannya, harga kesepakatan dengan inti untuk hasil panen live bird (ayam hidup) Rp 17 ribu per kg, sementara ”utang” peternak dihitung Rp 14 ribu untuk pakan dan DOC. Margin Rp 3.000 tersebut masih harus dipangkas lagi untuk biaya operasional pemeliharaan.
Dan sebagaimana dikeluhkan semua jenis usaha di tanah air, Sumiyana menunjuk kenaikan biaya gas dan listrik hingga Rp 300/kwh adalah beban berat karena menyebabkan biaya operasional membengkak hingga Rp 500 per ekornya. Kalau sebelumnya Sumiyana hanya mengeluarkan biaya operasional sekitar Rp 1.800 per ekor ayam, saat ini naik menjadi Rp 2.300 per ekor. ”Harga pakan dari inti juga sempat naik, dari Rp 7.100 jadi Rp 7.500 per kg, mau tidak mau biaya pakan membengkak,” keluhnya.
Dengan margin Rp 3.000 per ekor, dan biaya operasional sekitar Rp 2.300 per ekor, maka keuntungan bersih Sumiyana hanya Rp 700 per ekor ayam. Postur keuangan ini meleset dari analisa awal dia. ”Kondisi ini berarti usaha closed house dengan menggunakan pinjaman di bank hampir tidak layak, karena untuk menutupi bunga bank saja masih kurang,” ucapnya getir.
Meskipun, ia mengaku masih tertolong karena tergabung dalam kemitraan. Ia mengungkapkan, selama beberapa bulan harga pasar sempat terpuruk di Rp 13.000 – 14.000/kg, sedangkan ia sebagai mitra masih bisa menikmati harga Rp 17.000/kg dari inti. Ia menyadari, perusahaan inti sempat rugi ratusan miliar akibat hancurnya harga live bird.
Kembali Sumiyana menyebut kendala usahanya bukanlah faktor manajemen atau teknis tapi lebih pada bisnisnya itu sendiri. Ia pun mengharap dukungan dari pemerintah, diantaranya subsidi bunga bank. ”Di negara lain suku bunga bank untuk pengusaha kecil bisa di bawah 10 %, ini kita suku bunga masih sekitar 12 %,” keluhnya.
Selain itu ia juga berharap standar harga live bird yang ditentukan inti dapat naik dapat naik Rp 1.000 – 1.500/kg menjadi Rp 18.000 – 18.500/kg. ”Kalau penetapan harga dari inti naik kita kan marginnya juga bisa ikut naik. Idealnya Rp 1.800 – 2.500 keuntungan bersih yang kita peroleh baru bisnis closed house ini bisa dibilang sehat,” kata Sumiyana menyampaikan pandangannya.
Sumber : Majalah Trobos