Close Housed

Kandang sistem closed house adalah kandang tertutup yang menjamin keamanan secara biologi (kontak dengan organisme lain) dengan pengaturan ventilasi yang baik sehingga lebih sedikit stress yang terjadi pada ternak, menyediakan udara yang sehat bagi ternak, menyediakan iklim yang nyaman bagi ternak, meminimumkan tingkat stress pada ternak.

Broiler Modern

Ayam pedaging hasil persilangan dari berbagai bangsa ayam pedaging, yang memiliki kemampuan untuk menghasilkan daging secara optimal dan edisien, memiliki keunggulan pertumbuhannya yang sangat cepat dengan bobot badan yang tinggi dalam waktu yang relatif pendek, konversi pakan kecil, siap dipotong pada usia muda serta menghasilkan kualitas daging berserat lunak, yang didukung dengan pakan yang berkualitas dan menajemen pemeliharaan yang maksmila

DOC ( Day Old Chick )

DOC(day old chick), anak yam umur 1 hari sangat menentukan keberhasilan usaha ternak ayam. Kondisi DOC yang baik merupakan modal awal yang sangat penting.

Broiler

Campuran dari beberapa bahan baku pakan, baik yang sudah lengkap maupun yang masih akan dilengkapi, yang disusun secara khusus dan mengandung zat gizi yang mencukupi kebutuhan ternak untuk dapat dipergunakan sesuai dengan jenis ternaknya.

Pakan Ayam Broiler

Campuran dari beberapa bahan baku pakan, baik yang sudah lengkap maupun yang masih akan dilengkapi, yang disusun secara khusus dan mengandung zat gizi yang mencukupi kebutuhan ternak untuk dapat dipergunakan sesuai dengan jenis ternaknya.

Kemitraan Ayam Broiler

Kerjasama pemeliharaan ayam broiler dengan pola kerjasama inti dan plasma. Kerjasama dilaksanakan atas dasar saling percaya dan saling menguntungkan antara inti dan plasma.

Minggu, 09 Agustus 2015

Cosed House Pun Tak Luput Rugi

Peternak broiler (ayam pedaging) dengan sistem closed house (kandang tertutup) pun mengeluhkan beratnya tekanan bisnis broiler belakangan ini. Meski tak seburuk nasib peternak rakyat skala kecil yang lebih dulu berguguran satu per satu, menyerah dan memilih menganggurkan kandang-kandangnya karena tak punya lagi dana untuk operasional, peternak closed house yang umumnya ditopang modal kuat pun mulai gelagapan menanggung rugi yang beruntun. Harga pasar yang jeblok di bawah HPP (Harga Pokok Produksi) dan berkepanjangan tak urung memepetkan keuntungan, sebagian impas untuk menutup ongkos operasional, bahkan tak sedikit yang menggerogoti dana simpanan.

Sumiyana, peternak broiler dengan sistem closed house yang berlokasi di Kulon Progo, Jogjakarta mengatakan, teknologi closed house unggul secara teknis budidaya sehingga proses produksi optimal, sehingga menjanjikan keuntungan. Tetapi, kata dia, keunggulan tersebut percuma jika harga produk hasil panen jeblok terus menerus. ”Tetap saja peternak rugi,” kata dia. Menurut Sumiyana, kondisi saat ini yang harus dibenahi adalah bisnisnya, bukan teknis.

Sumiyana mulai April 2013 memutuskan menggelontorkan dana hingga Rp 4,6 miliar untuk berinvestasi di usaha broiler dengan sistem closed house. Tiga closed house didirikan, masing-masing ukuran 100 x 9 m2 yang dapat memuat 27 ribu ekor, sehingga total ia memiliki populasi 80 ribu ekor.

Dan menjadi peternak plasma dengan menginduk pada perusahaan besar (integrator) dipilih Sumiyana. Dalam hitung-hitungannya diatas kertas waktu itu, menurut dia pola kemitraan closed house tersebut akan menguntungkan dan risikonya dapat diminimalkan. ”Saya berani karena saat itu saya hitung, masih bisa nutup untuk bayar bunga pinjaman komersial dari bank,” ujar pria yang juga Dosen Fakultas Ekonomi di Universitas Gajah Mada (UGM) Jogjakarta ini.

Sumiyana ditarget oleh inti untuk memperoleh margin per ekor Rp 5.000. Angka ini merupakan selisih harga jual ayam dikurangi biaya DOC, pakan, dan obat yang disediakan oleh perusahaan inti. Bukan pekerjaan mudah, karena untuk mendapat margin ini peternak harus mencapai tingkat efisiensi yang baik. Sumiyana mengaku sulit mencapai angka target margin Rp 5.000 per ekor. Kenyataannya ia hanya mampu meraih angka margin di kisaran Rp 3.000 per ekornya. Penjelasannya, harga kesepakatan dengan inti untuk hasil panen live bird (ayam hidup) Rp 17 ribu per kg, sementara ”utang” peternak dihitung Rp 14 ribu untuk pakan dan DOC. Margin Rp 3.000 tersebut masih harus dipangkas lagi untuk biaya operasional pemeliharaan.

Dan sebagaimana dikeluhkan semua jenis usaha di tanah air, Sumiyana menunjuk kenaikan biaya gas dan listrik hingga Rp 300/kwh adalah beban berat karena menyebabkan biaya operasional membengkak hingga Rp 500 per ekornya. Kalau sebelumnya Sumiyana hanya mengeluarkan biaya operasional sekitar Rp 1.800 per ekor ayam, saat ini naik menjadi Rp 2.300 per ekor. ”Harga pakan dari inti juga sempat naik, dari Rp 7.100 jadi Rp 7.500 per kg, mau tidak mau biaya pakan membengkak,” keluhnya.

Dengan margin Rp 3.000 per ekor, dan biaya operasional sekitar Rp 2.300 per ekor, maka keuntungan bersih Sumiyana hanya Rp 700 per ekor ayam. Postur keuangan ini meleset dari analisa awal dia. ”Kondisi ini berarti usaha closed house dengan menggunakan pinjaman di bank hampir tidak layak, karena untuk menutupi bunga bank saja masih kurang,” ucapnya getir.

Meskipun, ia mengaku masih tertolong karena tergabung dalam kemitraan. Ia mengungkapkan, selama beberapa bulan harga  pasar sempat terpuruk di Rp 13.000 – 14.000/kg, sedangkan ia sebagai mitra masih bisa menikmati harga Rp 17.000/kg dari inti. Ia menyadari, perusahaan inti sempat rugi ratusan miliar akibat hancurnya harga live bird.

Kembali Sumiyana menyebut kendala usahanya bukanlah faktor manajemen atau teknis tapi lebih pada bisnisnya itu sendiri. Ia pun mengharap dukungan dari pemerintah, diantaranya subsidi bunga bank. ”Di negara lain suku bunga bank untuk pengusaha kecil bisa di bawah 10 %, ini kita suku bunga masih sekitar 12 %,” keluhnya.

Selain itu ia juga berharap standar harga live bird yang ditentukan inti dapat naik dapat naik Rp 1.000 – 1.500/kg menjadi Rp 18.000 – 18.500/kg. ”Kalau penetapan harga dari inti naik kita kan marginnya juga bisa ikut naik. Idealnya Rp 1.800 – 2.500 keuntungan bersih yang kita peroleh baru bisnis closed house ini bisa dibilang sehat,” kata Sumiyana menyampaikan pandangannya.

Sumber : Majalah Trobos

Lebih Efisien dengan Pakan Mandiri

Tren harga paka unggas terus meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini tentu menambah biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh peternak. Sementara itu, harga live bird (unggas hidup) kian tak menentu.

Kondisi tersebut dipaparkan Eko Prasetio – Broiler Commercial Farm Consultant dari peternakan Tri Group kepada TROBOS Livestock. “Kenaikan harga pakan yang tidak dibarengi oleh kenaikan harga karkas, mendorong kami peternak mandiri untuk lebih efisien dalam beternak,” ujarnya.

Meski saat ini, Eko mengaku telah lama berkolaborasi dengan beberapa perusahaan besar penyedia pakan (pakan pabrikan) unggas yang ada di Indonesia untuk memformulasikan pakan mandiri. “Jadi kami sodorkan formulasi pakan sendiri, tapi yang memproduksi mereka,” terang Eko. Bentuk kerjasama yang ia bina menerapkan azas saling menguntungkan antara kedua belah pihak.

Hal serupa dipaparkan Istanto, salah satu peternak broiler (ayam pedaging) asal Solo. Sejak 2003, ketika memulai beternak, ia telah memakai pakan buatan sendiri. “Menurut saya pakan buatan sendiri lebih bagus dan efisien, saya bisa menentukan sendiri kualitas seperti apa yang dibutuhkan oleh farm,” ucapnya.

Saat ini, ia telah memiliki feedmill (pabrik pakan) sendiri dengan kapasitas 4.000 – 5.000 ton per bulan. “Kebanyakan dipakai sendiri, tapi ada pula yang sedikit dijual ke teman-teman saja,” kata Istanto. Selisih harga antara pakan buatannya dengan pakan pabrikan sekitar 10 – 15%.

Diakui Istanto, meski membuat pakan mandiri, ia tak pernah mengalami kesulitan bahan baku. Dengan standar protein kasar 22% untuk broiler dan 18% untuk layer (ayam petelur), berapa pun jumlah bahan baku yang ia butuhkan selalu tersedia.

Lebih Efisien

Dengan kian ketatnya persaingan di bisnis perunggasan, menurut Eko,  kedepan para peternak harus mulai berpikir untuk membuat pakan sendiri. Hal ini menjadi suatu yang sifatnya mendesakjika ingin usahanya langgeng. “Meskipun aspek manajemenseperti tata laksana pemeliharaan, sumber air dan konsep serta struktur kandang juga ikut berkontribusi signifikan terhadap pencapaian performa akhir dalam 1 siklus putaran pemeliharaan ayam,” jelasnya.

Menurut Eko, dengan menggunakan pakan mandiri, peternak bisa leluasa mengatur formulasi pakannya. Demikian pula dengan harga pakan per kg, dari segi performa pun tentunya bisa lebih baik. Hal ini disebabkan karena kondisi kualitas pakannya bisa lebih stabil dengan memperketat kontrol kualitasnya.

“Selain harga dengan relatif lebih murah, kualitas bisa lebih kami kendalikan dari pada harus beli completed feed dari perusahaan besar yang tidak bisa kita kontrol detail bahan bakunya,” ucap Eko. Cost efisien yang bisa dihemat mencapai Rp 700 – 900 per kg pakan, artinya Harga Pokok Produksi (HPP) bisa ditekan pula.

Namun keuntungan terbesarnya yaitu fleksibilitas dari perubahan formulasi pakan, jika ada masalah di farm, disesuaikan dengan strategi panen dan rupiah per kg pakan, lanjut Eko. ”Dari beberapa data research farm yang kami himpun dengan completed feed berkategori grade A dibandingkan dengan pakan self mixing, kami bisa memberikan performa yang sama, namun dengan harga yang jauh lebih murah per kg pakannya,” ungkap dia. Sehingga goncangan/fluktuasi harga ayam hidup masih relatif bisa diantisipasi dengan strategi pakan.

Lanjut Eko, Bahkan ketika terjadi pergantian musim, dengan membuat pakan sendiri lebih leluasa dalam mengatur formulasi dihubungkan dengan kondisi perubahan cuaca dengan imbuhan pakan (feed additive) tertentu. “Misalnya pada saat musim penghujan, biasa kami tambahkan antijamur (Mycotoxin binder), penghambat pertumbuhan jamur (Mold inhibitor),” jelasnya.

Berbeda ketika musim kemarau, lanjutnya, imbuhan pakan yang biasa ditambahkan diantaranya vitamin C, beberapa mineral (Na, Cl, Ca, fosfor, Mg, Zink, dan lainnya ). Untuk masa masa peralihan baik dari musim kemarau ke musim penghujan atau sebaliknya, peternak lebih bebas mengganti (rooling), antikoksi (coccidiostat) dan antibiotik (anti biotic growth promotor) menyesuaikan dengan monitoring penyakit-penyakit (surveilance) yang terjadi di farm baik internal ataupun unit kemitraan yang ia bina.

Pada beberapa kasus yang berhubungan dengan kualitas anak ayam (DOC/Day Old Chick), dapat memberikan imbuhan pakan tertentu pada pakan prestarter. “Hal ini ditujukan untuk meminimalisir dampak negatif dari kualitas DOC yang kurang baik, mengingat kami belum punya bibit induk ayam (breeding farm) sendiri,” ucapnya.

Sumber : Majalah Trobos

Yang Tertekan, Yang Bertahan

Kondisi bisnis broiler (ayam pedaging) saat ini diibaratkan oleh Syaiful Bur sedang berperang melawan musuh yang bersenjata lengkap. Dan siasat bertempur yang dia tempuh agar tetap selamat adalah dengan sembunyi, alih-alih lari meninggalkan medan pertempuran. “Tidak perlu lari meninggalkan musuh, cukup bersembunyi asal tidak kena tembak. Masih dapat melihat musuh dan siap jika ada kesempatan datang,” ujar peternak senior yang kandangnya banyak di daerah Bekasi, Jawa Barat ini menjelaskan strateginya kepada TROBOS Livestock.
 
Harga livebird (ayam hidup) cenderung tertekan sejak 2012. Harga ayam di bawah harga pokok produksi (HPP) yang berkepanjangan dialami seluruh peternak di Indonesia. Dan sebagian peternak mulai berpikir ulang meneruskan usahanya.
 
Tetapi Syaiful Bur, adalah salah satu yang yakin mempertahankan usahanya, meski harus melakukan berbagai manuver untuk penyelamatan. Saat ditemui di kediamannya di Jakarta Pusat, pria yang beternak mulai 1982 ini mengatakan, sejak awal ia beternak suplai DOC (ayam umur sehari) adalah faktor utama yang berperan dalam fluktuasi harga ayam. Dan saat ini, menurut dia, dampak nyata dari over supply DOC adalah harga jual ayam saat panen yang senantiasa jeblok.Disinyalir, DOCberlebih 1,5 juta ekor tiap minggunya dari kebutuhan nasional.Kondisi ini akan berbeda apabila perusahaan besar yang memiliki budidaya mengekspor broiler hasil budidayanya.
               
Kondisi buruk selama 2 tahun harga jual ayam hidup di bawah HPP mengakibatkan peternak harus menyubsidi usahanya. Dengan asumsi harga DOC Rp 4.000 Syaiful mematok kisaran HPP usahanya saat ini Rp 14.500 – 15.000 per kg. Dan agar untung, harga jual semestinya di level Rp 16.000. Apa lacur, harga terkini berkisar Rp 14.500 – 15.500 per kg (4/15). “Sepanjang 2013, bisa dibilang tidak ada keuntungan. Cukup untuk membayar anak kandang dan sapronak yang diperlukan,” tutur Syaiful.
 
Zulham Ariansyah, salah satu peternak Bogor juga menyatakan, usaha broiler kini makin buruk dan tidak menunjukkan perbaikan. “Katanya ada pengurangan jumlah DOC, seharusnya harga membaik. Tapi kenyataannya harga semakin turun,” tuturnya saat ditemui TROBOS Livestock disela-sela kesibukan melayani pengunjung di taman edufarm miliknya.
               
Zulham mengaku berat jika menggantungkan hidup sepenuhnya dari usaha budidaya broiler. Populasinya yang semula 20.000 dan sempat berkembang jadi 50.000 ekor, kini susut hanya 15.000 ekor. “Sejak 5 tahun lalu, beberapa kandang saya alih fungsikan menjadi kandang sapi perah. Diversifikasi saya lakukan disamping tetap mempertahankan usaha broiler,” tuturnya.
               
Zulham berpendapat dalam kondisi saat ini jika peternak ingin survive tidak bisa hanya mengandalkan budidaya saja melainkan harus dibarengi dengan trading (jual beli). “Trading yang dilakukan bisa saja broiler itu sendiri atau trading lainnya seperti DOC,” terangnya. Menurut dia daya tawar peternak mandiri saat ini rendah, sehingga seringkali terabaikan oleh pemerintah.

Sumber : Majalah Trobos

Turunnya Performa Broiler

Joko Susilo peternak broiler asal Bogor beberapa waktu lalu sempat mengeluhkan kejadian perlambatan tumbuh broiler di rentang Maret hingga Mei lalu. ”Kondisi performa ayam merosot tajam, mulai terasa Maret setelah ada gonjang ganjing harga akan naik tapi nggak jadi naik,” ujarnya kepada TROBOS Livestock (8/6).

Gejala stagnasi bobot ayam atau perlambatan pertumbuhan ayam teramati oleh Joko saat ayam memasuki umur 3 minggu. Ia menjelaskan, biasanya umur 3 minggu sudah mencapai bobot sekitar 950 gram, tetapi waktu itu hanya mencapai bobot sekitar 850 gram. ”Sejak Maret lalu feed intake pakan masuk tapi bobotnya tidak tercapai. Satu hal kalau saya pikir, nggak mungkin menyalahkan alam walaupun memang saat Maret-April sempat terjadi pergantian cuaca dari hujan ke kemarau,” ungkap Joko.

Efisiensi pakan rendah, lanjut dia, konsumsi pakan 100 gram yang menjadi daging paling banter hanya 50 gram. ”Pakan yang dikonsumi tidak sempurna tercerna, kotoran ayam masih berbentuk butiran pakan,” ujar Joko. Ia punya dugaan, kejadian ini disebabkan  karena kualitas DOC (ayam umur sehari) yang kurang bagus. ”Waktu itu kan harga DOC sedang hancur banget. Bisa saja seleksinya nggak bener jadi kualitasnya juga menurun,” tuturnya.

Meski demikian Joko tak menampik ada beberapa farm yang performanya tetap bagus. ”Mungkin dengan perbaikan anajemen dan kualitas airnya di kandang,” ungkap Joko. Ia menambahkan, bisa jadi tidak hanya dari aspek DOC, menurut dia kualitas pakan juga turut berkontribusi. Parameternya ketika konsumsi ayam diberikan sesuai kebutuhan, biasanya pagi sudah harus habis ini pakan masih tersisa. ”Ayam tidak sempurna menghabiskan pakannya, masih banyak sisa butiran bubuk dari pakannya karena pakan yang lebih kecil dan mudah pecah,” ungkap Joko. Ia pun sempat melontarkan protes ke perusahaan pakan terkait hal tersebut.

Menurut Joko fenomena ini hampir merata terjadi pada kebanyakan peternakan di Jabodetabek, meskipun di beberapa lokasi ada juga yang tidak mengalami. Kejadian di wilayah Jabodetabek, utamanya dialami pada peternakan dengan tingkat density (kepadatan) yang terlalu tinggi, mencapai 10 – 12 ekor per m2 untuk kandang open, sehingga cekaman panas dan perubahan suhu efeknya sangat terlihat di kandang. ”Data yang saya dapatkan, untuk beberapa lokasi di Bogor Barat yang cuacanya lebih dingin, performa kandang masih bisa tercapai sesuai target,” ungkap joko.

Sumber : Majalah Trobos

Necrotic Enteritis, Tantangan Broiler Sejak Dini

Tantangan Necrotic Enteritis (NE) yang umumnya menyerang broiler (ayam pedaging) disebabkan oleh bakteri Clostridium perfringens. Penyakit yang secara umum lebih dikenal dengan radang pada usus ini mengintai unggas semenjak chickin (ayam masuk kandang). Hal ini diungkapkan B. Budi Wirawan, Poultry Health PT Ciomas Adisatwa.
              
Ia menerangkan, tantangan penyakit ini ternyata datang dari sekam untuk litter yang meski telah didesinfektan sebelumnya. “Clostridium perfringens sulit dibunuh karena bisa membentuk spora,” jelasnya. Bakteri masuk ke dalam saluran pencernaan broiler melalui kontak langsung dengan paruh, mengingat ayam memiliki kebiasaan mematuk-matuk litter.
              
Ditto Aji, Technical Sales salah satu perusahaan obat hewan area Jawa Tengah, menambahkan, salah satu jalan masuknya bakteri adalah akibat tempat pakan yang jarang dibersihkan dari litter maupun feses ayam yang tidak sengaja masuk akibat kebiasaan ayam mengais-ngais litter dan pakan. “Feses ayam atau litter yang tercemar masuk ke tempat pakan dan mencemari pakan yang ada,”katanya.
              
Budi melanjutkan broiler yang terjangkit NE sulit sekali dideteksi dari penampilan luar. Pasalnya ciri-ciri yang tampak mirip sekali dengan penyakit pencernaan lainnya. “Ciri yang tampak adalah bulu berdiri dan kloaka nampak kotor bahkan mirip dengan gejala IBD (gumboro) karena IBD juga menyebabkan gangguan pencernaan,” terangnya.
              
Ditto menimpali, ciri yang tampak lainnya adalah ayam terlihat bergerombol, feses encer dan berwarna merah kecoklatan seperti pepaya. Feed Convertion Ratio (FCR) pun akan meningkat karena pakan tidak terserap dengan sempurna.
              
Budi mengatakan lagi, perbedaan akan tampak saat pembedahan dilakukan, broiler yang terjangkit NE akan memiliki usus dengan radang yang parah ditandai dengan pembengkakan pembuluh darah vaskuler. “Jika kronis bisa terlihat warna usus yang merah darah,”ujarnya.
              
Ditto mengimbuhkan, nekrosa pada mukosa usus halus akan tampak apabila serangan NE terjadi. Juga terjadi perubahan pada usus yang mengakibatkan rapuhnya usus. “Beberapa kasus ditemui gelembung udara di dalam usus,”ungkapnya.
              
Pada musim penghujan jumlah kasus NE meningkat dibandingkan dengan musim kemarau. Hal itu sebagai akibat dari lembabnya litter pada musing penghujan. Saat kemarau, Collibacilosis yang menyerang pernapasan kerap muncul dikarenakan perubahan suhu yang ekstrim saat siang dan malam.

Penyakit ini menyerang broiler pada umur 2-5 minggu dan pada layer di umur 3-6 minggu. “Kebanyakan menyerang ayam saat masih menggunakan sekam sebagai litter, ditambah dengan kondisi kandang dan peralatan yang tidak higienis,”jelas Ditto.

Diawali Coccidiosis

Kemunculan NE pada broiler tidak bisa lepas dari infeksi parasit awal yakni coccidiosis. Gejala jika dilihat dari ekskreta yang dikeluarkan broiler pun hampir sama cirinya, yakni cenderung berdarah. “Infeksi awal NE pada saluran pencernaan akan mengikuti setelah cocci yang akan menyerang terlebih dahulu dan biasanya di sekitar duodenum,”terang Budi.
              
Masuknya cocci, akan menembus fili-fili usus. Banyaknya sel usus yang rusak merupakan pintu bagi masuknya Clostridium perfringens, serangannya pun tidak tanggung-tanggung yakni sepanjang usus itu sendiri.
              
Kasus yang terjadi pada broiler lebih banyak disebabkan oleh buruknya manajemen pemeliharaan dan sanitasi kandang, kepadatan yang berlebihan, serta buruknya sirlukasi udara yang mengakibatkan sekam basah. “Kepadatan untuk di Indonesia saat ini telah mencapai 20 ekorper m2, tentunya harus dibarengi dengan manajemen yang ketat,”ungkap Budi.
              
Kepadatan kandang ideal menurut Ditto adalah 8 ekorper m2. Jika terlalu padat maka penyebaran akan berlangsung cepat dengan tingkat kematian 5–15% bahkan bisa mencapai 40% pada kasus yang akut. “Kepadatan yang tinggi menyebabkan penyebaran NE lebih cepat, khususnya di kandang postal karena sekam akan cepat basah,”ujarnya.
              
Budi melanjutkan, saat ini kasus NE pada broiler relatif jarang terjadi. Hal ini disebabkan semakin sadarnya peternak akan kebersihan dan sanitasi kandang serta didukung manajemen pemeliharaan yang semakin baik. “Asalkan bakteri penyebab tidak terlalu banyak jumlahnya, tidak berdampak serius terhadap broiler,” tegasnya.NE bisa terjadi sebagai kasus tunggal, namun hanya pada broiler yang tidak pernah bersentuhan dengan antibiotik semasa hidupnya.
              
Budi menegaskan, NE pada broiler bisa dicegah terlebih dahulu dari pakan yang mengandung coccidiostat guna menghambat pertumbuhan bakteri penyebab coccidiosis. Selain itu, adanya growth promotor pada pakan turut membantu dalam pencegahan serangan NE. Penggunaan antibiotik juga kerap digunakan pada broiler agar tidak gampang terserang penyakit.

Sumber : Majalah Trobos